Belajar Matematika sering menjadi
sebuah kendala bagi anak bersekolah. Tidak sedikit anak mengalami pobia
belajar Matematika. Berbagai alasan anak takut Matematika mengkerucut pada
bagaimana Matematika secara konsep dan terapan ditransfer kepada anak.
Pada umumnya, Matematika hanya
diajarkan pada aspek knowledge content (materi pengetahuan). Anak
dijejali berbagai topik yang menjadi kajian pelajaran Matematika, tanpa
diberikan filosofi belajar topik tersebut.
Matematika seperti sudah
lazim menjadi ‘image’ sebagai parameter pintar tidaknya anak. Guru
dan orang tua terjebak dengan paradigma tersebut, sehingga menjadi lengkaplah
eksistensi Matematika lebih ‘diagungkan’ dari pada pelajaran lainnya, apalagi
untuk pelajaran yang berbau sosial atau seni.
Guru dan orang tua pun jadi lupa
bahwa dalam kehidupan anak di masa mendatang, Matematika bukanlah satu-satunya
anak menjadi sukses dalam kehidupannya. Seseorang hidup sukses karena potensi
kemajemukan intelligencenya.
Matematika hanya seperdelapan dari
multiple intelligence yang dimiliki anak. Setiap anak memiliki
dominansi intelligence yang berbeda. Sebagai orang tua dan guru,
harus jeli akan dominansi tersebut, untuk mengembangkan secara optimal potensi
setiap anak.
Kembali pada Matematika, bagi anak
yang dominansi intelligencenya bukan pada smart logika / Matematika, tentu akan
mengalami hambatan dalam belajar Matematika. Apabila hambatan yang
dimiliki anak tidak disikapi dengan tepat oleh guru atau orang tua, akan
menambah tingkat stress anak dalam belajar Matematika, dan merembet pada
kesulitan belajar di sekolah secara umum.
Banyak anak yang stress sekolah
hanya karena bertemu dengan pelajaran Matematika. Mengapa bisa terjadi
seperti itu? Faktor utamanya adalah Matematika dipandang sebagai
pelajaran sulit dan tidak menyenangkan. Belumlagi apabila anak bertemu
dengan guru Matematika yang ‘killer’ dan tidak kooperatif.
Haruskah terjadi hal demikian?
Sungguh sangat disayangkan apabila sekolah masih memiliki pola dan atmosfer belajar
Matematika yang membuat anak stress belajar. Sekolah harus meninggalkan
pola belajar Matematika yang ‘mengerikan’ menjadi pola belajar yang
‘menyenangkan dan mengundang’ anak untuk belajar.
Agar dapat terjadi pembelajaran
Matematika yang menyenangkan dan mengundang di kelas, seorang guru harus
memahami bahwa Matematika tidak hanya belajar content atau isi pelajaran,
seperti aljabar, bilangan, data dan statistik, geometri dan pengukuran.
Guru harus memahami kekuatan Matematika dibalik topik isi Matematika.
Kekuatan ini justru yang membawa anak untukmengembangkan cerdas berpikir
logika Matematika yang diperlukan anak dalam tumbuhkembang hidupnya.
Dengan cerdas logika Matematika,
anak dapat menelaah isi Matematika terhadap kegunaan Matematika dalam kehidupan
sehari-hari yang dia lihat, dengar dan rasakan. Pada dasarnya kekuatan
Matematika meliputi:
1) komunikasi : Matematika harus
dapat menjadi bahasa komunikasi angka-angka, 2) koneksi: Matematika yang
diajarkan di kelas harus berhubungan dengan kejadian sehari-hari ayng dialami
anak, 3) reason dan pembuktian: Matematika harus dapat melatih daya
pikir anak untuk mengungkapkan alasan pembuktian kebenaran, 4)
Reinforcement: Matematika perlu latihan atau pembiasaan dan 5) problem solving:
Matematika harus mengasah anak dalam pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Apabila guru memahami dengan baik
kekuatan Matematika, ditunjang dengan pemahaman akan ide mengajar, strategi
mengajar dan manajemen kelas, maka pobia anak belajar Matematika akan dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan. Selain itu, kebermanfaatan belajar
Matematika akan lebih optimal dirasakan oleh anak baik masa sekarang maupun
masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar